• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy

Topeng Jadi Polisi

 on Friday 23 October 2015  

Malam ini baru saja diguyur hujan. Semuanya basah. Kodok-kodok terbahak ngakak. Rerumputan bernyanyi riang. Dedaunan bergoyang rege. Segar bugar rasanya raga ini, dingin menusuk pori-pori, sehingga makhluk pada lelap semua. Seakan mereka
lagi mimpi dipermainkan indahnya sang bidadari. Sentuhannya begitu mempesona, menghangatkan, menarik-narik, membuat kita semakin terlena lama.
Malam yang dingin ini Topeng tidurnya lebih awal. Lama dan nikmat betul tidurnya. Mungkin saja siangnya ia keletihan, banyak kerja, atau melakukan kegiatan yang membuatnya tetap sehat selalu.
Ketika  pagi tiba, ia bangun lebih cepat  dari biasanya. Belum terdengar suara azan, ayam  pun masih enggan  untuk   berkokok   panjang. Bukan apa-apa, lelaki itu bangun lebih cepat sekarang karena ada yang harus digapai, diraih, dan digenggamnya agar tak lepas. Katanya sih hari ini adalah hari awal penentuan hidupnya kelak. Soalnya, anak itu berkeinginan besar menjadi seorang polisi. Polisi yang didambakannya sejak dulu.
“ Benar kamu mau menjadi polisi, Peng ?” tanya Wak Udin tetangga sebelah yang kerap mengajaknya ngobrol kalau senja tiba.
“ Benar, Wak. Hari ini pendaftarannya terakhir.”
“ Pantas, hari-hari belakangan ini, wawak sering lihat kamu lari-lari. Nggak pagi, siang, bahkan sore. Memangnya harus begitu, Peng, kalau mau jadi tentara ?”
“ Bukan tentara, Wak, tetapi polisi !” jelasnya.
“ Kan sama, Peng !” kata Wak Udin berlagak pintar.
“ Tidak, Wak Udin. Polisi dengan tentara itu beda. Polisi itu pengayom rakyat, yang melindungi rakyat dari tindak kejahatan, sedangkan tentara pengaman negara dari serangan musuh, baik yang dari dalam negeri, maupun yang dari luar. Polisi yang menangani masalah kamtibmas. Tentara itu tugasnya mencegah jangan sampai terjadi perebutan kekuasaan di dalam negeri yang dilakukan oleh  orang yang tak bertanggung jawab.”
“ O......, begitu rupanya. Maklumlah, Peng, wawak kan nggak pernah makan sekolahan.”
“ Sekolah mau dimakan, Wak ?” tanya Topeng heran dengan istilah wawaknya.
“ Bukan, maksudnya wawak nggak sekolah kayak kamu, jadi ya nggak ngerti.”
“ Wah, ternyata Wak Udin pintar juga berdiplomasi !” puji Topeng penuh kagum.
“ Ngomong-ngomong, kalau kamu sudah jadi polisi, bagaimana dengan anak-anak pengajian di sini, Peng ?” tanya Wak Udin.
“ Ya kalau itu, aku serahkan saja sama Wak Udin. Kalau nanti aku dapat tugas di daerah kita ini, tetapi itu pun belum pasti, ya mudah-mudahan saja bisa di sini, aku akan terus melanjutkannya. Jika tidak, ya terserah saja dengan Wak Udin, kan wawak sudah tahu bahkan lebih pintar dari aku tentang mengurus mereka, mendidiknya, dan mengajarinya. Wak Udin kan orangnya penyayang,” jawab Topeng meyakinkan.
“ Hu......, pintar-pintarnya kamu, Peng !” sergah Wak Udin sembari mencubit perut Topeng.
“ Udah dulu ngobrolnya ya, Wak, aku mau cepat-cepat, takut ketinggalan,” ujarnya pamit pada Wak Udin.
Topeng bergegas meninggalkan desanya yang tenang dan damai diiringi tatapan mata wawak tetangganya. Langkahnya cepat, pasti, dan penuh perhitungan. Agar lebih cepat, ia pun naik mobil omprengan.
“ Dik, kelihatannya kamu terburu-buru, mau ke mana ?” tanya seorang lelaki berkumis klimis di dalam mobil omprengan.
“ Anu, Bang. Aku mau ke Polres !” jawab Topeng singkat.
“ Mau jadi polisi, ya ?” tanyanya lagi.
“ Kok abang tahu ?” tanya Topeng heran.
“ Adik kan membawa map, pasti mau jadi polisi, ya kan ? O ya, jadi polisi itu membahagiakan lho, Dik. Banyak sekali tugasnya. Pokoknya kita ini seperti pahlawan buat negara. Kalau adik memang sudah punya niat , lebih baik teruskan  saja niat itu. Tetapi, kalau adik tanggung-tanggung, tidak seratus persen, yang mendingan nggak usah. Apalagi kalau fisik adik belum pernah dilatih. !” kata lelaki itu mengakhiri pembicaraan sesaat.
Setiba di sana, Topeng terbengong-bengong kayak orang kampung yang baru pertama sekali ke kota. Memang betul begitu. Dia baru kali ini ke kantor polisi. Saking bingungnya, ia nggak tahu harus ke mana dulu. Orang-orang sudah banyak yang mengisi formulir. Bising, brisik, ramainya kayak di pasar ikan, hingar gingar nggak karuan. Siapa yang bicara, siapa yang dengar, nggak tahu lagi.
Si Topeng terus mencari-cari. Matanya celingak-celinguk, liar seperti elang yang tengah mengintai mangsanya. Tak ada yang dikenalnya satu pun. Alamak, semuanya asing. Urus sendiri dia nggak tahu caranya. Kayaknya saja ia berlagak pintar, padahal dirinya memang benar-benar sedikit tolol.
“ Dik !”  Topeng terkejut karena pundaknya ditepuk orang.
“ Oh, abang !” katanya sambil menoleh ke belakang.
“ Bagaimana, sudah beres pendaftarannya ?” tanya lelaki itu.
Pertanyaan itu mengejutkan hatinya. Topeng mengangguk, walaupun ia benar-benar tidak mengerti.“Mari abang tunjukkan tempatnya !” ajak lelaki itu kemudian.
Anak kampung itu seperti terhipnotis. Topeng tersenyum. Dia pun begitu yakin, si abang tidak akan menipunya. Orang itu kan polisi, masak menipu orang, kan nggak mungkin, pikirnya waktu itu. Selesai urusan, dia pun pulang.
Sore yang dinantinya tiba. Niatnya sudahlah pasti ingin ke rumah orang yang baru dikenalnya tadi . Topeng ingin mengucapkan terimakasih karena telah ditolong. Sekalian minta dilatih olahraga dan fisiknya untuk persiapan ke depan.
Wou..., ternyata gayung bersambut. Si abang melatihnya hingga tuntas.
“Ternyata fisikmu memang hebat, Dik. Pelatih nggak salah pilih kamu lulus. Abang juga bangga padamu !” puji si abang mengacungkan jempol.
“Alhamdulillah, Bang. Ini semua berkat Yang Kuasa. Keluarga semuanya juga mendoakan demikian. Makasih, Bang atas bimbingannya !” ujar Topeng haru.
Selesai pendidikan dan magang, Topeng kembali ke kampungnya. Tujuannya hanya satu, ketemu Wak Udin tetangganya yang kerap memberikan dorongan dan supot.
“Wah, wah...., anak wawak sekarang sudah ...! Hebat kamu, Peng. Gagah sekali kamu pakai baju seragam itu. Semoga kamu tetap jadi polisi yang dicintai rakyat kecil seperti yang kamu cita-citakan dulu, Peng !” sambut Wak Udin sembari memeluk Topeng dengan haru.
“Semoga aja, Wak !” ujar Topeng yakin.
Topeng kini benar-benar telah jadi polisi yang dicintai rakyat kampung. Polisi yang mampu menumbuhkembangkan semangat kebersamaan, menguatkan silaturrahmi, dan memperkuat persatuan anak bangsa.
Sebagai wujud cintanya pada tanah air atas keberhasilannya itu, Topeng mengumpulkan anak-anak muda setiap minggunya untuk membangun desa tercinta dengan senang dan gembira tanpa ada yang merasa disisihkan, dirugikan, atau dianaktirikan. Semua gembira dengan kepemimpinan Topeng, polisi yang memang benar-benar polisi. Desanya pun aman dan terjaga.
Selamat Topeng........... selamat, semoga jejakmu dapat ditiru oleh yang lain.

Ridha Nori Irianto

Guru SMP Yapena Batuphat Lhokseumawe

Topeng Jadi Polisi 4.5 5 Unknown Friday 23 October 2015 Malam ini baru saja diguyur hujan. Semuanya basah. Kodok-kodok terbahak ngakak. Rerumputan bernyanyi riang. Dedaunan bergoyang rege. Segar ...


2 comments:

J-Theme