Malam ini
baru saja diguyur hujan. Semuanya basah. Kodok-kodok terbahak ngakak.
Rerumputan bernyanyi riang. Dedaunan bergoyang rege. Segar bugar rasanya raga
ini, dingin menusuk pori-pori, sehingga makhluk pada lelap semua. Seakan mereka
lagi mimpi dipermainkan indahnya sang bidadari. Sentuhannya begitu mempesona, menghangatkan, menarik-narik, membuat kita semakin terlena lama.
lagi mimpi dipermainkan indahnya sang bidadari. Sentuhannya begitu mempesona, menghangatkan, menarik-narik, membuat kita semakin terlena lama.
Malam yang dingin ini Topeng
tidurnya lebih awal. Lama dan nikmat betul tidurnya. Mungkin saja siangnya ia
keletihan, banyak kerja, atau melakukan kegiatan yang membuatnya tetap sehat
selalu.
Ketika pagi tiba, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Belum terdengar suara azan,
ayam pun masih enggan untuk
berkokok panjang. Bukan apa-apa,
lelaki itu bangun lebih cepat sekarang karena ada yang harus digapai, diraih,
dan digenggamnya agar tak lepas. Katanya sih hari ini adalah hari awal
penentuan hidupnya kelak. Soalnya, anak itu berkeinginan besar menjadi seorang
polisi. Polisi yang didambakannya sejak dulu.
“ Benar kamu mau menjadi
polisi, Peng ?” tanya Wak Udin tetangga sebelah yang kerap mengajaknya ngobrol
kalau senja tiba.
“ Benar, Wak. Hari ini
pendaftarannya terakhir.”
“ Pantas, hari-hari belakangan
ini, wawak sering lihat kamu lari-lari. Nggak pagi, siang, bahkan sore.
Memangnya harus begitu, Peng, kalau mau jadi tentara ?”
“ Bukan tentara, Wak, tetapi
polisi !” jelasnya.
“ Kan sama, Peng !” kata Wak
Udin berlagak pintar.
“ Tidak, Wak Udin. Polisi
dengan tentara itu beda. Polisi itu pengayom rakyat, yang melindungi rakyat
dari tindak kejahatan, sedangkan tentara pengaman negara dari serangan musuh,
baik yang dari dalam negeri, maupun yang dari luar. Polisi yang menangani
masalah kamtibmas. Tentara itu tugasnya mencegah jangan sampai terjadi
perebutan kekuasaan di dalam negeri yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab.”
“ O......, begitu rupanya.
Maklumlah, Peng, wawak kan nggak pernah makan sekolahan.”
“ Sekolah mau dimakan, Wak ?”
tanya Topeng heran dengan istilah wawaknya.
“ Bukan, maksudnya wawak nggak
sekolah kayak kamu, jadi ya nggak ngerti.”
“ Wah, ternyata Wak Udin
pintar juga berdiplomasi !” puji Topeng penuh kagum.
“ Ngomong-ngomong, kalau kamu
sudah jadi polisi, bagaimana dengan anak-anak pengajian di sini, Peng ?” tanya
Wak Udin.
“ Ya kalau itu, aku serahkan
saja sama Wak Udin. Kalau nanti aku dapat tugas di daerah kita ini, tetapi itu
pun belum pasti, ya mudah-mudahan saja bisa di sini, aku akan terus
melanjutkannya. Jika tidak, ya terserah saja dengan Wak Udin, kan wawak sudah
tahu bahkan lebih pintar dari aku tentang mengurus mereka, mendidiknya, dan
mengajarinya. Wak Udin kan orangnya penyayang,” jawab Topeng meyakinkan.
“ Hu......, pintar-pintarnya
kamu, Peng !” sergah Wak Udin sembari mencubit perut Topeng.
“ Udah dulu ngobrolnya ya, Wak,
aku mau cepat-cepat, takut ketinggalan,” ujarnya pamit pada Wak Udin.
Topeng bergegas meninggalkan
desanya yang tenang dan damai diiringi tatapan mata wawak tetangganya.
Langkahnya cepat, pasti, dan penuh perhitungan. Agar lebih cepat, ia pun naik
mobil omprengan.
“ Dik, kelihatannya kamu
terburu-buru, mau ke mana ?” tanya seorang lelaki berkumis klimis di dalam
mobil omprengan.
“ Anu, Bang. Aku mau ke Polres
!” jawab Topeng singkat.
“ Mau jadi polisi, ya ?”
tanyanya lagi.
“ Kok abang tahu ?” tanya Topeng
heran.
“ Adik kan membawa map, pasti
mau jadi polisi, ya kan ? O ya, jadi polisi itu membahagiakan lho, Dik. Banyak
sekali tugasnya. Pokoknya kita ini seperti pahlawan buat negara. Kalau adik memang
sudah punya niat , lebih baik teruskan saja niat itu. Tetapi, kalau adik tanggung-tanggung,
tidak seratus persen, yang mendingan nggak usah. Apalagi kalau fisik adik belum
pernah dilatih. !” kata lelaki itu mengakhiri pembicaraan sesaat.
Setiba di sana, Topeng
terbengong-bengong kayak orang kampung yang baru pertama sekali ke kota. Memang
betul begitu. Dia baru kali ini ke kantor polisi. Saking bingungnya, ia nggak
tahu harus ke mana dulu. Orang-orang sudah banyak yang mengisi formulir.
Bising, brisik, ramainya kayak di pasar ikan, hingar gingar nggak karuan. Siapa
yang bicara, siapa yang dengar, nggak tahu lagi.
Si Topeng terus mencari-cari.
Matanya celingak-celinguk, liar seperti elang yang tengah mengintai mangsanya.
Tak ada yang dikenalnya satu pun. Alamak, semuanya asing. Urus sendiri dia
nggak tahu caranya. Kayaknya saja ia berlagak pintar, padahal dirinya memang
benar-benar sedikit tolol.
“ Dik !” Topeng terkejut karena pundaknya ditepuk
orang.
“ Oh, abang !” katanya sambil
menoleh ke belakang.
“ Bagaimana, sudah beres
pendaftarannya ?” tanya lelaki itu.
Pertanyaan itu mengejutkan
hatinya. Topeng mengangguk, walaupun ia benar-benar tidak mengerti.“Mari abang
tunjukkan tempatnya !” ajak lelaki itu kemudian.
Anak kampung itu seperti terhipnotis.
Topeng tersenyum. Dia pun begitu yakin, si abang tidak akan menipunya. Orang
itu kan polisi, masak menipu orang, kan nggak mungkin, pikirnya waktu itu.
Selesai urusan, dia pun pulang.
Sore yang dinantinya tiba.
Niatnya sudahlah pasti ingin ke rumah orang yang baru dikenalnya tadi . Topeng
ingin mengucapkan terimakasih karena telah ditolong. Sekalian minta dilatih
olahraga dan fisiknya untuk persiapan ke depan.
Wou..., ternyata gayung
bersambut. Si abang melatihnya hingga tuntas.
“Ternyata fisikmu memang
hebat, Dik. Pelatih nggak salah pilih kamu lulus. Abang juga bangga padamu !”
puji si abang mengacungkan jempol.
“Alhamdulillah, Bang. Ini
semua berkat Yang Kuasa. Keluarga semuanya juga mendoakan demikian. Makasih,
Bang atas bimbingannya !” ujar Topeng haru.
Selesai pendidikan dan magang,
Topeng kembali ke kampungnya. Tujuannya hanya satu, ketemu Wak Udin tetangganya
yang kerap memberikan dorongan dan supot.
“Wah, wah...., anak wawak
sekarang sudah ...! Hebat kamu, Peng. Gagah sekali kamu pakai baju seragam itu.
Semoga kamu tetap jadi polisi yang dicintai rakyat kecil seperti yang kamu
cita-citakan dulu, Peng !” sambut Wak Udin sembari memeluk Topeng dengan haru.
“Semoga aja, Wak !” ujar
Topeng yakin.
Topeng kini benar-benar telah
jadi polisi yang dicintai rakyat kampung. Polisi yang mampu menumbuhkembangkan
semangat kebersamaan, menguatkan silaturrahmi, dan memperkuat persatuan anak
bangsa.
Sebagai wujud cintanya pada
tanah air atas keberhasilannya itu, Topeng mengumpulkan anak-anak muda setiap
minggunya untuk membangun desa tercinta dengan senang dan gembira tanpa ada
yang merasa disisihkan, dirugikan, atau dianaktirikan. Semua gembira dengan
kepemimpinan Topeng, polisi yang memang benar-benar polisi. Desanya pun aman
dan terjaga.
Selamat Topeng...........
selamat, semoga jejakmu dapat ditiru oleh yang lain.
Ridha Nori Irianto
Guru SMP Yapena Batuphat Lhokseumawe
Bagus banget pak cerpennya
ReplyDeleteTerimakasih
Delete