Pagi itu udara cukup cerah.
Matahari baru bangun dari peraduannya.Burung-burung masih bernyanyi
bersahut-sahutan. Semuanya
menggambarkan sebuah desa yang damai dan tenteram. Desa yang berhawa
sejuk
bermandikan tumbuhan hijau dan pepadian yang berhamparan seperti permadani yang
terlihat begitu indahnya. Desa indah di lereng bukit Lauser daerah Tanah Rencong.
Topeng begitu tertarik dengan
daerah itu. Desa yang disinggahinya dalam pengembaraannya yang telah memasuki
tahun ketiga. Desa yang penduduknya ramah tamah. Gembira dengan sawah dan
ladang yang siap untuk dipanen.
Bila malam tiba, semua
penduduk tidak ada yang ke luar rumah. Mereka berdiam diri bermunajad kepada
Allah dan bekumpul dengan keluarga. Tak seorang pun yang diperbolehkan ke luar.
Bukan karena apa-apa, selain adat yang masih melekat erat, mereka ke luar takut
disergap hantu jahat.
Lain halnya dengan Topeng.
Pemuda itu tetap saja duduk-duduk di bawah sebuah pohon besar berdaun
rindang sambil menikmati cahaya bulan
yang menerangi tubuhnya hingga membentuk sebuah bayangan besar.
Topeng tidak menghiraukan
larangan setiap orang yang melintas di depannya ketika mereka hendak pulang
dari meunasah. Mereka, rakyat pedalaman, baik yang tua maupun muda, selalu
mengatakan bahwa di bawah pohon yang sedang didudukinya itu ada penunggunya.
Banyak sudah orang yang jatuh sakit karena diganggu makhluk halus. Namun
Topeng, lelaki pengelana itu, semakin tegar di situ. Ia duduk sambil berzikir
membaca ayat suci. Sedikitpun tidak ada rasa takut di benaknya. Karena ia
berfikir semuanya itu ada pada ketentuan Allah. Segala urusan diserahkannya
bulat-bulat kepada Allah.
Ketika tidur, Topeng bermimpi.
Ia didatangi makhluk halus berpakaian putih dan berambut panjang. Tempat
tidurnya yang dari tali itu digoyang-goyang. Tubuhnya ditarik-tarik sehingga
pemuda itu tersentak. Meskipun demikian, Topeng tidak bergidik sedikitpun,
tetap tenang-tenang saja. Bahkan ia semakin menantang.
Sadar makhluk itu tak mampu
melawannya, ia pun mengajak pemuda itu ke sebuah bukit yang lebih tinggi dari
tempatnya duduk. Bukit yang penuh semak belukar. Di situ ada sebuah gubug tua,
reyot, dan hampir roboh, dan sebuah jalan tikus, jauh dari jalan kampung.
Sambil berjalan keduanya saling bersitegang beradu kata. Entah apa yang mereka
perbincangkan aku juga tidak tahu pasti.
Keesokan harinya, Topeng pergi
ke bukit yang dikatakan oleh mimpinya. Di situ seorang nenek miskin sedang
duduk menganyam tikar pandan. Ia sendiri, tidak ada sanak saudara yang
menemaninya. Dengan ramahnya Topeng menyapa nenek miskin itu.
“ Nek, mengapa sendirian saja
? Apa yang sedang nenek kerjakan ?”
“ Oh cuco long, beginilah keadaan nenek
sehari-hari. Tidak ada famili dan makan pun hanya sendiri. Biar banyak
anak-anak yang lewat di sini, tak seorang jua pun yang mau singgah ke gubugku.”
“ Kasihan.........! Topeng
mendesis. Saya lihat di sekitar gubug nenek banyak binatang piaraan. Ada ayam, kambing, dan lembu. Siapa
yang memberi makan hwan-hewan itu, Nek ?”
“ Tidak ada, mereka hanya
dilepas begitu saja!” jawabnya ketus.
“ Boleh saya ikut merawatnya,
Nek ?” Topeng coba menawarkan jasanya.
“ Dengan senang hati cuco
long. Kau boleh juga tinggal di sini. Bahkan kau boleh memetik buah yang
kutanam.”
“ Ou........ou, sungguh, Nek
?”
Si nenek cuma menganggukkan
kepalanya tanda setuju.
Tak lama kemudian, Topeng
merasa senang dan betah tinggal bersama nenek itu walau tidur hanya di lantai
tanah dan beralas tikar yang sudah lusuh.Dia bahagia benar bisa tinggal di
pedalaman seperti itu sambil menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan yang tiada
bandingnya. Sepanjang waktu yang dilewatinya, ia isi dengan mengurus piaraan si
nenek, bersihkan halaman gubugnya, menimbakan air, dan merawat tanaman
sayur-sayuran dan pohon buah-buahan yang sekejap lagi akan dipetik hasilnya.
Suatu hari Topeng menemuka
sepasang burung dalam sangkar di dalam gua di belakang gubug si nenek. Lubang
gua itu kecil dan masih asri, sepertinya belum pernah ada orang yang
menyentuhnya. Di bawah sangkar itu ada sebuah peti, kemudian ia coba
membukanya. Setelah dibuka, betapa tercengangnya Topeng. Sebuah peti buruk
berisi seribu ekor kecoak. Segera ditutupnya kembali, kemudian ia bekerja lagi.
Dalam bekerja dia terliaht gusar. Ternyata si nenek mengetahuinya.
“ Topeng, apa yang kamu
pikirkan ?”
“ Anu, Nek, burung itu
bagus sekali. Indah bulunya, merdu
suaranya. Tetapi sayang, keduanya
terkurung dalam sangkar emas. Kalau boleh, aku ingin membebaskan mereka, Nek !’
pintanya penuh harap.
“ Sifatmu sungguh berbeda
dengan kedua burung itu,” jelas nenek.
“ Mengapa, Nek ?” tanya Topeng
ingin tahu pasti.
“ Tidak apa-apa, esok pagi
engkau juga akan tahu sendiri jawabannya.”
Malam harinya Topeng nggak
bisa memejamkan matanya. Dia terus asyik memikirkan kata-kata si nenek tua. Apa
gerangan yang akan terjadi esok hari. Anak itu juga nggak tahu. Karena terus
melamun, akhirnya ia tertidur pulas di lantai rumah.
Untuk yang kesekian kalinya
dia bermimpi. Malam itu Topeng didatangi bidadari cantik yang tersenyum ramah
kepadanya. Bidadari itu menginginkan Topeng menjadi suaminya karena ia telah
menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan yang amat panjang dan berliku.
Pagi harinya, Topeng tidak
melihat gubug reyot lagi di situ. Tidak juga nenek tua dan piaraannya. Semua
telah berubah menjadi istana yang lengkap dengan pengawalnya. Ruangan penuh
cahaya berkilauan. Cahaya emas, perak, dan permata.
Di istana itu duduk seorang
putri yang cantik. Dia tersenyum manis sekali.Topeng membalasnya dengan senyum
yang sama pula.
“ Maaf, Tuan Putri, di manakah
nenek saya ? Di mana pula kedua burung dan kecoak yang kutemukan ?”tanya Topeng
heran.
“ Kecoak itu adalah seluruh
pengawal istana ini. Hewan yang engkau rawat itu adalah hulu balang istana yang
sekarang berdiri di sampingku,” jawabnya singkat.
“ Oh, maaf atas kelancangan
mulutku ini, Tuan Putri !”
“ Tidak mengapa. Kau bisa
lihat burung-burung itu dalam kerangkeng sana.”
Tuan Putri menunjuk ke arah kiri kursi istana megahnya. Ruangan itu ada
di sebelah bawah.
Topeng segera ke sana. Betapa
terkejut dan terperanjatnya si pemuda. Ia mendelik setengah tidak percaya terhadap
apa yang dilihatnya kini.
“ Ana........, Andi........!”
teriaknya.
“ Bang Topeng..........!”
balas keduanya serempak.
Ketiganya saling bertatapan
heran dan penuh tanda tanya di antara jeruji besi yang memisahkan mereka.
“ Apa yang telah terjadi atas
mereka ?” tanya Topeng pada Tuan Putri.
“ Itu hukuman buat mereka yang
telah melanggar daerah kekuasaanku. Keduanya kuhukum karena hendak mengambil
piaraanku tanpa sepengetahuanku.”
“ Dan Tuan Putri
sendiri.........?” desak Topeng kemudian.
“ Aku dulu pernah berdusta
kepada kedua orang tuaku. Dia telah menyumpahi diriku menjadi nenek tua. Berkat
kebaikanmu pula aku terselamatkan dari hukuman orang tuaku. Aku kembali seperti
dulu sebagai gadis cantik yang kaulihat ini. Bagaimana dengan janjimu yang lalu
hai pemuda ganteng ?”
Mendengar pertanyaan itu,
Topeng tersentak sembari menyebut, lepaskan dulu kedua orang iiiiiiii......
i.........tu !
Bersamaan dengan itu terdengar
bunyi gedebrak......!!! Topeng terjatuh dari tempat tidurnya yang empuk. Dia
mengaduh, sakit..............!! Alamak, kiranya ia baru saja mimpi panjang.
Asyik..........!!!!!!
(Telah dimuat di SKU haba Rakyat,
Langsa Aceh, ed 96 Minggu Kedua Mei 2010)
No comments:
Post a Comment